IGI : 5 Fakta Sistem Honorer Merusak Tatanan Pendidikan

Experience, Jakarta – Ikatan Guru Indonesia sangat berterima kasih kepada DPR dan Pemerintah Pusat yang telah bersepakat menghapuskan Sistem Honorer, sesuatu yang sudah kami perjuangkan bertahun-tahun demi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim, Jum’at (24/1/2020) menegaskan bahwa Sistem Honorer selama ini harus diakui telah merusak tatanan pendidikan kita, mengapa?

  1. Sistem Rekruitmen Guru yang serampangan, tanpa pola dan tanpa melalu proses yang jelas yang berakibat pada tingginya variasi kualitas guru karena mulai dari calon guru dengan kompetensi terbaik sampai calon guru dengan kompetensi terjelek, mulai dari mereka yang sangat baik mengajar hingga yang sangat buruk mengajar, mulai dari yang bermental baik hingga bermental sangat buruk, mulai dari mereka yang mengajar dengan hati hingga mereka yang tak punya hati _semuanya bisa jadi guru._
  2. Profesi guru hanya sekedar status. Selama ini sangat banyak sekolah yang sesungguhnya hanya butuh 5 tambahan guru honorer tapi ada 20 guru honorer didalamnya, jam mengajar pun di bagi rata seperti sepotong kue yang dipotong kecil-kecil. Bahkan banyak guru yang hanya mengajar 2-3 jam per minggu hanya sekedar agar mendapatkan “status” guru. Bahkan terkadang terjadi kelucuan, guru bersertifikasi harus mencari tambahan jam mengajar diluar sekolahnya demi memberi kesempatan guru honorer ini
  3. Guru Titipan. Salah satu faktor sulitnya menghambat pertumbuhan guru honorer adalah “titipan” kepala sekolah bahkan termasuk kepala daerah tentu saja sangat sulit menolak “guru titipan” apalagi jika yang menitip adalah seorang anggota legislatif atau seorang pejabat daerah apalagi pejabat pusat. Kepala sekolah akan segera memberikan jam mengajar apapun caranya untuk bisa mengakomodir para titipan ini.
  4. Membuat malas guru PNS. Banjirnya guru honorer di sekolah-sekolah membuat guru-guru PNS menjadi malas, guru PNS seperti ini memang tak banyak tapi hampir merata di seluruh Indonesia. Mereka dengan mudah meminta guru honorer yang jam ngajarnya sedikit itu untuk menggantikan dirinya kapan pun dia mau. Dengan honor hanya Rp.6000,-/jam tentu saja sangat enteng buat guru PNS apalagi sudah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan daerah. Guru-guru PNS bisa bebas bercengkerama dengan koleganya dan akan semakin sibuk menjelang pilkada terutama jika petahana akan segera bertarung kembali. Guru-guru PNS seperti merasa tenang karena kelas-kelas yang menjadi tanggung jawab mereka beres dan biasanya siswa juga cenderung lebih senang diajar oleh para guru peran pengganti ini. Padahal sesungguhnya guru PNS ini telah merusak tatanan pendidikan kita, mereka biasanya aman di daerah karena kepiawaiannya bermain dalam Pilkada. Tentu saja tak semua guru PNS seperti ini tapi sangat berpotensi untuk terus bertambah padahal makin banyak yang pensiun.
  5. Diklat Guru menjadi mubazir. Banyak kawan-kawan guru honorer jauh lebih rajin ikut berlatih meningkatkan kompetensinya dibanding guru-guru PNS bahkan pelatihan-pelatihan beranggaran mewah yang diselenggarakan oleh kemdikbud pun kadang ramai oleh guru-guru honorer dengan semangat 45 ini. Tetapi dengan status mereka yang tak jelas, diklat-diklat ini berpotensi menjadi mubazir jika suatu ketika tak lagi diperpanjang masa honorernya atau tak lagi diberikan jam pengajaran oleh sekolah.

Dengan semua persoalan itu, sudah sangat tepat jika kemendikbud dan Pemerintah daerah sesegera mungkin mengaktualisasiksan kesepakatan pemerintah dan DPR RI ini dan tentu saja segera menyiapkan pola rekruitmen PPPK dan CPNS untuk mengisi kekosongan yang akan diakibatkan penghapusan sistem honorer ini.

Pengurangan Jumlah Mata Pelajaran Untuk Efektifitas Guru

Salah satu faktor sulitnya pemerintah memenuhi kebutuhan guru karena tidak efektifnya guru di sekolah diakibatkan oleh jumlah mata pelajaran yang begitu banyak terutama pada level SMP, SMA dan SMK. Hal ini pun membuat sekolah-sekolah swasta kesulitan untuk memberikan upah sesuai UMR kepada guru.

Bacaan Lainnya

Rekrutmen Kembali Honorer Menjadi PPPK atau CPNS Antara Kualitas dan Pengabdian

Bagi kami di Ikatan Guru Indonesia, kualitas guru menjadi harga mati, karena itu, IGI menolak rekruitmen CPNS atau PPPK baik dari honororer apalagi jalur umum tanpa seleksi sama sekali karena pola ini akan membuat pendidikan kita tambah hancur. Hasil Uji Kompetensi Guru memberikan gambaran betapa rendahnya kualitas guru kita, hasil PISA dan AKSI pun memberi gambaran betapa guru-guru kita belum mampu mengangkat kualitas anak didik bahkan cenderung menurun. Karena itu IGI menolak keras rekruitmen CPNS atau PPPK tanpa seleksi.

Meskipun demikian IGI menuntut pemerintah menghargai pengabdian guru-guru honorer ini. Bagaimana pun banyak dari mereka menjadi bagian dari IGI. Karena itu kami mengusulkan pola rekruitmen yang memadukan antara kualitas dan penghargaan atas pengabdian. Caranya dengan memberikan bobot pengabdian bersanding dengan bobot kompetensi. Guru diberikan nilai otomatis sebagai penghargaan atas pengabdiannya. Setiap tahun pengabdian diberikan bobot 1% sehingga semakin lama guru tersebut mengabdi maka semakin tinggi bobot pengabdiannya. Guru yang sudah mengajar 35 tahun secara otomatis akan mendapat 35% sebelum seleksi sementara mereka yang baru sarjana dan belum mengabdi sama sekali masih memiliki bobot 0% sebelum seleksi. Artinya perlu kompetensi yang jauh lebih tinggi bagi mereka yang baru lulus kuliah agar bisa bersaing dengan guru honorer ini. Dan jika guru honorer yang bobot penghargaannya sangat tinggi tetapi masih juga kalah dari mereka yang baru lulus kuliah berarti memang harus diakui bahwa yang bersangkutan tidak layak mengajar dan tidak layak mengisi ruang kelas. (*/)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan