[OPINI] Seaplane: Dari Maladewa ke Nusantara, Apa yang Terlewat?

Oleh: Andi Januar Jaury Dharwis

 

INOVASI transportasi selalu memikat perhatian publik. Sebuah moda baru yang hadir di ruang kebijakan kerap digadang-gadang sebagai simbol kemajuan dan terobosan. Tidak heran, gagasan pengoperasian seaplane di Indonesia pun segera menimbulkan rasa ingin tahu dan decak kagum. Namun di balik euforia itu, ada pertanyaan mendasar yang layak diajukan: apakah sebuah gagasan transportasi baru ini benar-benar realistis dalam konteks fiskal dan pasar daerah, atau hanya sekadar mimpi mahal yang membebani anggaran?

Seaplane bukanlah hal baru dalam konteks negara kepulauan. Maladewa, misalnya, telah lama menjadikan seaplane sebagai tulang punggung transportasi antarpulau. Maskapai seperti Trans Maldivian Airways mengoperasikan lebih dari 60 unit pesawat amfibi, menghubungkan resort-resort eksklusif dengan bandara internasional. Model bisnis ini berjalan lancar karena adanya pasar wisata premium yang konsisten: turis mancanegara yang rela membayar mahal demi pengalaman eksklusif.

Lebih penting lagi, ekosistem pariwisata Maladewa menghasilkan penerimaan devisa yang sangat besar. Pada tahun 2023, penerimaan pariwisata Maladewa mencapai kisaran USD 4,2 miliar. Angka tersebut memberi ruang fiskal sekaligus kepastian pasar bagi pemerintah maupun swasta untuk menopang operasional seaplane. Singkatnya, ada kecocokan antara biaya dan nilai ekonomi yang dihasilkan.

Bacaan Lainnya

Realitas Nusantara

Bagaimana dengan konteks Nusantara, khususnya daerah-daerah yang baru mulai menguji coba seaplane? Angka fiskal yang tersedia jauh berbeda. Sebagai ilustrasi, total APBD provinsi yang menginisiasi layanan seaplane pada 2024 sekitar Rp10,2 triliun, dengan komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya sebagian kecil dari total itu. Kapasitas fiskal seperti ini relatif terbatas jika harus menanggung investasi besar dan biaya operasional seaplane.

Lebih jauh, pemerintah daerah setempat bahkan menganggarkan subsidi sekitar Rp17 miliar untuk mendukung operasional seaplane. Pertanyaan pun mengemuka: apakah jumlah belanja itu akan menghasilkan output ekonomi yang setara atau lebih besar? Dalam kerangka ICOR (Incremental Capital Output Ratio), setiap tambahan modal harus bisa memicu pertumbuhan output nyata, baik itu dalam bentuk kunjungan wisatawan, peningkatan PAD, maupun lapangan kerja baru.

Masalahnya, data kunjungan wisatawan mancanegara di provinsi ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan destinasi internasional yang mapan. Daya beli wisatawan domestik pun belum cukup kuat untuk menopang layanan transportasi premium. Hal ini menimbulkan risiko ICOR tinggi: modal besar, output ekonomi minim.

Kompleksitas yang Sering Terlupakan
Mengoperasikan seaplane bukan sekadar membeli pesawat dan menyiapkan dermaga. Ada kerumitan regulasi bandara perairan, sertifikasi keselamatan penerbangan, hingga kesiapan SDM teknis. Infrastruktur penunjang seperti terminal kecil, sistem keamanan, hingga fasilitas pemeliharaan juga harus dipenuhi. Semua itu memerlukan biaya berlapis yang jarang masuk dalam kalkulasi awal kebijakan.

Kita juga perlu mengingat bahwa transportasi publik idealnya menjawab kebutuhan mayoritas warga. Ketika anggaran daerah masih terbatas dan kebutuhan dasar seperti jalan, kesehatan, dan pendidikan belum tertangani tuntas, publik wajar bertanya: apakah terobosan semacam seaplane merupakan prioritas?

Alternatif Pendekatan

Kritik ini bukanlah penolakan terhadap inovasi. Seaplane bisa saja menjadi solusi cerdas bagi daerah kepulauan dengan destinasi wisata unggulan. Tetapi syaratnya jelas: kebijakan harus berbasis permintaan nyata, kemampuan fiskal, dan kesiapan kelembagaan.

Ada beberapa pendekatan alternatif yang lebih realistis:

1. Skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha), di mana risiko dan biaya ditanggung bersama oleh swasta dan pemerintah.

2. Bundling paket pariwisata bersama operator swasta, sehingga ada pasar yang siap membayar bahkan sebelum pemerintah mengeluarkan subsidi besar.

3. Transparansi analisis ICOR, sehingga publik bisa menilai secara rasional apakah kebijakan layak dijalankan.

Seaplane memang menghadirkan imajinasi modern, pesawat yang bisa mendarat di air, menghubungkan pulau-pulau indah di Nusantara. Tetapi sebelum mimpi itu dijalankan dengan dana publik, ada kewajiban untuk menimbang matang: apakah pasar cukup siap, apakah fiskal cukup kuat, dan apakah manfaatnya melebihi biayanya.

Maladewa bisa melakukannya karena mereka memiliki ekosistem pariwisata kelas dunia yang menopang. Nusantara tentu bisa belajar dan mengadaptasi, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan. Jika tidak, seaplane berisiko menjadi sekadar jargon yang indah di atas kertas, tetapi meninggalkan beban di laporan anggaran.

Kebijakan publik tidak boleh berhenti pada headline “pertama di Indonesia”, melainkan harus menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Karena pada akhirnya, yang dinilai bukan sekadar keberanian mencoba, tetapi juga kebijaksanaan dalam memastikan setiap rupiah anggaran menghadirkan manfaat yang nyata. (*\)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan