Makassar, Experience – Investor proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) Kota Makassar, PT Grand Puri Indonesia tengah mempertimbangkan pemindahan lokasi proyek dari kawasan Gran Eterno ke Bontoa, Kecamatan Tamalanrea. Penentuan lokasi akan diputus Agustus nanti. Sulselexperience.com
“Soal pemindahan lokasi kan sedang dikaji. Ada tim konsorsium yang godok,” jelas Direktur PT Grand Puri Indonesia, Harun kepada media, Selasa (24/7). Kemarin
Menurut Harun, sengketa yang masih terjadi di Gren Eterno menjadi alasan pemindahan. Akan tetapi ia belum bisa memastikan sampai kapan proses ini berlangsung.
Harun juga tak merinci lokasi alternatif yang ditunjuk di Bontoa. Sebab sejauh ini ada dua lokasi yang jadi opsi.
“Yang jelas kita pertimbangkan semua opsi,” katanya.
Dari informasi yang diterima media, dua lokasi yang jadi ancang ancang pihak investor keduanya berada di Bontoa. Pemiliknya bernama Topan dan Benny.
Seperti diketahui, sebelumnya investor telah menunjuk Gran Eterno sebagai lokasi proyek PSEL. Tapi lokasi ini bermasalah karena masih dalam status sengketa hukum.
Sebelumnya, Direktur Laksus Muhammad Ansar juga mendesak agar lokasi di Gran Eterno dianulir.
“Yang ditunjuk ini lahan bermasalah (Gran Eterno). Artinya seluruh proses kontrak juga cacat secara administratif,” ujar Ansar.
Menurut Ansar, dengan legalitas yang tak jelas, sebaiknya kontrak dibatalkan. Sebab kata dia, jika proses tetap dipaksakan, investor dan Pemkot Makassar bisa ikut terseret masalah hukum.
“Pemkot Makassar dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) akan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Karena menempatkan proyek pada lahan bermasalah. Otomatis proses pembebasannya secara hukum juga cacat. Jadi sekali lagi saya ingatkan, kontrak harus segera dibatalkan,” tandas Ansar.
Ansar mengaku akan melaporkan kasus ini ke penegak hukum jika kontrak proyek PSEL tetap berlanjut. Ia juga menilai, ada proses yang dipaksakan dari awal.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merespons proses yang terjadi dalam proyek PSEL. KPK mengatakan, potensi penyimpangan pada proyek PSEL harus ditutup sejak dini.
“Pada prinsipnya proyek proyek pemerintah itu selalu dimonitor KPK. Itu memang sudah menjadi domain KPK,” ujar Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango.
Nawawi menyebutkan, KPK memberi atensi pada proyek dengan nilai investasi besar. Sebab banyak proses yang terjadi, yang memungkinkan membuka ruang-ruang penyimpangan.
“Dan ini kan (PSEL) investasinya besar. Celah-celah terjadinya potensi penyimpangan kita pantau,” jelasnya.
Selain itu, Nawawi juga mendorong masyarakat proaktif mengawasi jalannya proyek. Kata dia, jika ada indikasi penyimpangan pada proses pelaksanaan, harus segera dilaporkan.
“Istilahnya dengan pemantauan bersama, potensi korupsi bisa ditutup,” ucapnya.
Internal KPK kabarnya telah menurunkan tim untuk memantau proses penyelesaian lahan di lokasi proyek.
Saat ditanya apakah ada laporan terkait proyek PSEL, ia mengatakan, pemantauan KPK bukan semata didasarkan pada laporan. KPK kata dia bekerja mandiri.
“Itu otomatis ya. Tapi diawal tim hanya memantau proses yang ada dulu,” ucapnya.
Pembebasan lahan proyek PSEL jadi sorotan karena diduga masih terdapat sengketa pada lokasi yang ditunjuk pemenang tender. Yakni di Kawasan Gran Eterno.
Lokasi ini sebelumnya ditolak warga. Karena penolakan itu, pemenang tender akhirnya menunjuk lokasi alternatif di Bontoa. Hanya saja, penetapan lahan masih dikaji bersama tim pemkot.
Herman Melapor ke Kejati Sulsel
Salah seorang pemilik lahan di Gran Eterno, Herman Budianto Selasa kemarin resmi melapor ke Kejati Sulsel. Ia melaporkan potensi korupsi dalam sengketa lahan miliknya.
Herman Budianto meminta penyidik Kejati menyelidiki laporan tersebut dan memeriksa pihak-pihak terkait.
Herman juga sudah melayangkan keberatan administrasi kepada Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Kota Makassar atas terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan di atas lahan Gran Eterno.
Menurut dia, surat keberatan tersebut telah diterima secara resmi oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Makassar pada hari Jumat 20 Juni 2024, pekan lalu.
“Dalam surat keberatan itu, kami memohon kepada BPN Makassar untuk mencabut dan membatalkan berlakunya 24 Sertipikat HGB tersebut,” ujar Herman.
Menurut Herman, salah satu poin alasan keberatan itu dilayangkan ke BPN Makassar adalah tidak adanya akuntabilitas dan tidak transparannya seluruh proses sebagaimana yang dimaksud dalan AUPB. Padahal, kata Herman, pihak penyidik Polda Sulsel menyampaikan sudah melakukan blokir atas sertipikat Gran Eterno tersebut.
“Pihak-pihak terkait sebaiknya duduk bersama dengan bersama kami dan menyelesaikan secara jujur dan benar tentang apa yang sebenarnya terjadi pada lahan Gran Eterno dan mengapa lahan tersebut begitu manis untuk dijadikan lokasi proyek pembangunan PSEL,” imbuh Herman.
Herman mengatakan, pihaknya khawatir bila polemik mengenai lahan Gran Eterno itu akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak hingga merugikan pihak-pihak terkait. Itu sebabnya, kata dia, masalah tersebut didiskusikan secara baik-baik oleh pihak proyek PSEL, pihak pemerintah, investor, dan semua pihak yang menerima dampak langsung atas keberadaan proyek yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Kota Makassar tersebut.
“Jangan sampai kelak proyek PSEL akan dianggap hanya karena mengejar deadline sehingga melibas dan mengorbankan hak-hak warga khususnya pemilik lahan dan warga sekitar,” imbuh Herman (tim/*)