Makassar, Experience – Pusat Kajian dan Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel menegaskan pentingnya edukasi publik terkait penerapan Restorative Justice (RJ) serta masa pembuktian dalam penanganan perkara pidana, menyusul polemik kasus dugaan Penipuan Online (Passobis) di Sulawesi Selatan.
Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma, S.H., M.H., menjelaskan bahwa banyak masyarakat belum memahami bagaimana mekanisme hukum berjalan dalam kasus delik aduan seperti penipuan.
“Dalam delik aduan, penyidikan hanya bisa berjalan jika ada laporan dari korban. Artinya, keberlanjutan perkara sangat bergantung pada ada tidaknya aduan resmi dan kesediaan korban untuk meneruskannya,” jelasnya.
Farid menegaskan, substansi perkara pidana sangat ditentukan oleh proses pembuktian. Polisi dan jaksa tidak dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup. Proses pembuktian inilah yang kerap tidak dipahami publik, sehingga muncul anggapan seolah-olah ada ketidakadilan ketika seseorang dilepaskan karena syarat pembuktian belum terpenuhi.
Berdasarkan hasil koordinasi PUKAT Sulsel dengan Kabid Humas Polda Sulsel, kasus ini memiliki masa pembuktian yang jelas:
- 25 Juli 2025 – Tiga terduga pelaku ditangkap di Kabupaten Wajo.
- 28 Juli 2025 – Berkas perkara dikirim ke Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk diteliti.
- 8 Agustus 2025 – Korban mencabut laporan karena kerugian telah dikembalikan dan sepakat berdamai.
- 11 Agustus 2025 – Gelar perkara penghentian penyidikan dilakukan.
- 12 Agustus 2025 – Diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
- 13 Agustus 2025 – Surat pemberitahuan penghentian penyidikan dikirim ke Kejati Sulsel.
“Rangkaian waktu ini menunjukkan bahwa penyidik tidak serta-merta menghentikan perkara, tetapi melewati masa pembuktian formal seperti penangkapan, pelimpahan berkas, penelitian jaksa, hingga adanya pencabutan laporan korban. Barulah kemudian perkara dihentikan dengan mekanisme RJ,” terang Farid.
Farid menambahkan, Restorative Justice bukan berarti kasus dibiarkan, melainkan mekanisme sah yang diakui hukum Indonesia. Melalui RJ, korban mendapatkan haknya kembali, pelaku bertanggung jawab, dan perkara dihentikan secara legal.
“Edukasi publik sangat penting agar masyarakat memahami bahwa hukum bekerja melalui tahapan pembuktian, bukan sekadar opini publik. Transparansi aparat dalam menjelaskan masa pembuktian ini adalah kunci menjaga kepercayaan masyarakat,” tutup Farid. (*\)