SULSELEXPERIENCE.COM MAKASSAR – Menulis puisi itu harus diniatkan dan dikondisikan, jangan menunggu ide datang. Seorang penulis juga mesti punya disiplin, dan begitu ide muncul, harus segera dituangkan. Tidak boleh mengandalkan ingatan, tapi perlu segera didokumentasikan, agar nanti bisa dibukukan.
Begitulah rangkuman pemikiran yang mengemuka dalam gelaran acara Sastra Sabtu Sore, yang kali ini membincangkan buku Antologi KoPi Makassar “Resolusi Dalam Puisi”. Sebagai pemantik, dihadirkan tiga narasumber, masing-masing Yudhistira Sukatanya (Sastrawan), Maysir Yulanwar (Penyair), dan Anil Hukma (Akademisi).
Acara Sastra Sabtu Sore ini dipandu oleh Rusdin Tompo, penggiat literasi dan Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Sulawesi Selatan. Kegiatan yang terlaksana berkat kerjasama Komunitas Puisi (KoPi) Makassar dan Satupena Sulawesi Selatan ini, berlangsung di Figor Cafe, BTP Tamalanrea, Makassar, Sabtu, 19 Maret 2022.
Sebagai bagian dari KoPi Makassar, Rusdin dalam pengantar diskusi mengemukakan tentang upaya komunitasnya mendorong kreativitas menulis. Caranya, dengan menantang teman-temannya menulis selama sebulan penuh pada Januari 2020. Hasilnya dibukukan jadi antologi puisi.
Yudhistira Sukatanya, menilai resoluisi dalam puisi semacam kebulatan tekad untuk berkarya. Menurutnya, kita tidak bisa berkarya kalau tidak punya komitmen. Buku ini, katanya, adalah upaya KoPi Makassar merekam proses berkarya para penulis lintas generasi. Kelemahan kita, lanjutnya, tidak banyak orang yang punya catatan perjalanan sejarah sastra atau perdebatan tentang sastra di Sulsel.
KoPi Makassar rutin merilis berita terkait aktivitas sastra yang mungkin bisa jadi bahan kajian para peneliti. Yudhistira yang dikenal sebagai sutradara teater itu mendorong untuk terus mengembangkan sastra Makassar, juga sastra berbahasa Bugis dan Toraja karena akan memperkaya khasanah sastra lokal kita.
“Sastra daerah ini mirip jalan sepi yang tidak dilirik penyair kita,” ungkapnya.
Maysir Yulanwar memulai ulasannya dengan menukil Charles Bukowski. Penyair dan penulis Amerika Serikat itu, jelas Maysir, pernah berkata bahwa aku menulis dan aku tidak peduli dengan penilaian orang lain. Baginya, ketika menulis, kita tidak harus sama dengan orang lain, bila perlu berani berbeda dengan orang lain.
Terkait puisi, menurutnya, ketika seseorang membaca puisi, dia bukan sedang membaca puisi tapi membaca perasaan. Seorang penyair yang menekuni puisi, apapun yang terlintas di benaknya akan ditangkap, dijadikan puisi. Kalau kemudian ada yang mengkritisinya maka sebenarnya dia hanya mempoteksi pemikirannya sendiri.
“Bagi penyair, yang perlu dilakukan adalah mengolah rasa. Karena kalau mengolah kata itu sudah selesai,” paparnya.
Lelaki yang telah menerbitkan buku kumpulan puisi “Sembunyi”, 2017, itu berbagi pengalaman tentang proses kreatifnya. Ada dua cara yang biasa dia lakukan. Pertama, dia membiasakan diri untuk selalu sadar akan tindakan yang dilakukannya. Kedua, dia sadar bahwa ketika masih bernapas, itu suatu hal luar biasa, bukan kelaziman. Artinya, kita bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Apalagi saat bisa mencipta puisi.
Anil Hukma mengapresiasi Sastra Sabtu Sore, yang dinilai merupakan sesuatu yang membahagiakan. Karena bisa bertemu sesama penyair dan penikmat sastra. Menurutnya, hidup itu harus digagaa dan diprogramkan. “Resolusi dalam Puisi” merupakan cermin dan bukti bahwa ada kreativitas dan karya yang dibuat di suatu masa dan tempat. Resolusi itu sebuah janji agar jangan mati di tengah jalan. Tapi, diingatkan, untuk kreatif menulis harus banyak membaca buku dan tulisan di platform digital.
Katanya, banyak potensi dalam diri kita yang mesti dikeluarkan. Dialog semacam ini sebenarnya pemicu untuk kita menulis. Penyair itu berdialog dengan dirinya dalam bentuk teks dan kata-kata. Seorang seniman itu peka dan tidak akan lari dari Tuhan. Tuhan itu pencipta besar, penyair itu pencipta kecil.
“Sastra Sabtu Sore itu silaturahmi budaya, semacam oase tempat kita keluar dari aktivitas rutin,” imbuhnya.