Oleh: Farid Mamma, S.H., M.H.
Direktur PUKAT Sulawesi Selatan
BERBICARA reformasi Polri, kita harus jujur, jangan sampai perubahan yang digadang-gadang malah jadi alat kekuasaan. Polri itu penegak hukum, bukan “tim sukses” siapa pun. Kalau aturan dan kewenangan di tubuh Polri dipakai buat barter politik atau kepentingan elite, maka keadilan buat rakyat pasti jadi korban.
Masalahnya, di lapangan masih ada polisi yang akhirnya dekat sama penguasa atau pengusaha karena alasan klasik kesejahteraan.
Gaji pas-pasan, tunjangan lebih banyak numpuk di level jenderal, sementara yang kerja paling berat itu justru bintara dan brigadir. Di daerah timur, mereka harus hadapi konflik sosial, tindak kriminal berbahaya, sampai jaga keamanan dengan risiko nyawa. Tapi sayangnya, urusan kebutuhan keluarga, apalagi masa depan anak-anak mereka. Sering kali abai dari perhatian negara.
Kondisi kayak ini bikin Polri rawan kehilangan independensi. Kalau polisi lebih takut sama bos atau pengusaha ketimbang taat pada hukum, siapa yang bisa jamin masyarakat dapat keadilan? Padahal Polri seharusnya bikin rakyat merasa aman, bukan malah bikin takut. Rasa hormat masyarakat itu datangnya dari kepercayaan, bukan karena rasa gentar.
Jadi, kalau kita serius mau reformasi, dua hal ini harus ditekankan yakni Polri harus benar-benar bebas dari intervensi politik dan kepentingan modal.
Kemudian kesejahteraan aparat di level bawah harus dijamin negara, biar mereka bisa fokus kerja tanpa mikir “cari sponsor” buat nutup kebutuhan keluarga.
Kalau dua hal ini beres, Polri bukan hanya dihormati, tapi dipercaya sebagai pengayom masyarakat. Itu baru reformasi yang sebenarnya. (*\)